Bentang Alam Propinsi Jawa Barat Rusak Oleh Penjajah: Oleh: Ambu Rita Laraswati (Penulis, Pelukis, Spiritualis, Praktisi Budaya)

Fokus Jabar Seni dan Budaya Sosial

JAWA BARAT | FOKUSPRIANGAN.ID – Lingkungan agraria di Propinsi Jawa Barat terutama daerah Priangan memiliki sejarah yang panjang, semenjak terjadi ekstraksi terhadap hutan jati di wilayah pantai utara oleh VOC di haruskan untuk di ganti di buka perkebunan kopi dengan area yang luas. Pada saat itu penguasaan kelola hutan oleh kehutanan Hindia Belanda Boschewezen yang di masukan ke dalam penguasaan Perhutani. Saat itu terjadi penjualan tanah secara besar-besaran yang di lakukan oleh tuan-tuan tanah, adanya program perkebunan komoditi ekspor, adanya kawasan konservasi yang di gunakan untuk pemakaian produksi berteknologi tinggi. Dasar hal di atas agraria di daerah Priangan berubah dan beralih fungsi.

Adanya teori evolusi dengan sistem pertanian berpindah berganti menjadi wanatani yaitu sistem pertanian dengan proses membuka hutan artinya pohon- pohon besar di hutan di tebang. Proses selanjutnya melakukan perladangan lalu melakukan pertanian menetap yang akhirnya terbentuk kebun talun di bekas hutan tersebut.

Pada tahun 1619 VOC berkuasa di Batavia. Daerah Priangan merupakan wilayah kerajaan Sumedang larang, saat itu di pimpin oleh Aria Suryadiwangsa 1 yang takluk pada kerajaan Mataram, saat itu rajanya adalah Sultan Agung. Pada saat itu nama Propinsi Jawa Barat berubah menjadi Priangan. Berkuasanya Mataram terhadap daearah Priangan berlangsung kurang lebih 50 tahun. Daerah Priangan di serahkan kepada VOC sebagai bentuk balas jasa karena VOC telah membantu menaklukan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda. Penyerahan terjadi dua kali yaitu pada tahun 1667 dan 1703. Penyerahan itu tidak hanya wilayah tetapi para priyayi, penduduk daerah Priangan dan semua sumber alam yang ada berupa gunung, hutan, wilayah pesisir pantai berupa pohon jati.

Kesultanan Cirebon di taklukan oleh Mataram pada tahun 1681 sehingga wilayah dan hutan jati di sepanjang pantai utara menjadi kekuasan VOC melalui perjanjian paksa dengan penguasaan Mataram. VOC memonopoli kayu jati untuk kepentingan dagang dengan membentuk sistim “kontingensi kayu” untuk kepentingan keuntungan dagang.

Kondisi Agraria di Provinsi Jawa Barat bagian daerah Priangan sekitar abad 18 terjadi penggundulan hutan tropis, ekstraksi kayu dan mulainya produksi besar-besaran komoditi tanaman untuk kebutuhan export ke negara eropa, adanya peralihan ladang berpindah-pindah menjadi petani menetap telah merubah kondisi gunung dan hutan tidak dalam fungsi alaminya. Sistim “Prijanganstelsel” selama 70 tahun dari tahun 1800-1870 telah merubah wajah hutan dengan penggundulan hutan sehingga lahan pertanahan daerah Priangan rusak dan hutan menjadi beralih fungsi.

Sistem itu mengatur penduduk pribumi harus menyerahkan kayu jati dengan harga yang di tetapkan oleh VOC. kondisi merubah sosial, ekonomi penduduk pribumi, pribumi menjadi awak blandong yaitu pengadaan kayu yang per tahun harus memenuhi kayu jati 5000 m3. Kondisi penduduk pribumi di paksa untuk memproduksi kayu jati di seluruh Pulau Jawa mencapai 11.000 m3 per tahun. Kondisi ini berlangsung 40 tahun. Pada tahun 1722 pemerintah Hindia Belanda Zwaardekroon memerintahkan penebangan kayu di stop selam 15 tahun atas permohonan pemerintah dan rakyat.

VOC merubah hutan daerah Priangan menjadi perkebunan kopi tahun 1707. Kebun penduduk dan hutan primer yang di buka dengan tenaga kerja pribumi yang wajib untuk berkerja. Saat itu pergerakan di serahkan pada bupati tetapi dengan pengawas yang di angkat dari orang Belanda untuk mengawasi dari penebangan hutan, menanam kopi sampai penyerahan hasil panen. Bupati mendapatkan premi dan pembayaran tenaga pekerja di lakukan oleh bupati.

Taktik penguasaan wilayah pertanahan di daerah Priangan Belanda menggunakan hubungan kekuasan penduduk dan para penguasa pribumi (para menak) sampai pada keluarga para menak. Sebelum tahun 1667 para menak memerintah atas nama rakyat setelah itu raja atau pemerintah memerintah atas nama kepentingan VOC.

Dengan sistim prijanganstelsel tahun 1723 membuat daerah Priangan menjadi sentral komoditi kopi mengalahkan produksi kopi Eropa lainnya. Puncak produksi kopi tertinggi pada tahun 1725. Sistim prijanganstelsel di lanjut oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch tahun 1830. Kepentingan untuk membiayai perang dengan Belgia dan pembangunan negeri Belanda.

Memasuki Abad 19 dan 20 kekuasaan masih oleh VOC tetapi VOC mengalami kebangkrutan sehingga kekuasan dan penguasaan akan tanah air terutama daerah Priangan semakin keras, wajib kerja paksa menambah penduduk menderita. Penguasaan atas agraria semakin kuat di cengkram oleh VOC dengan membuat sistim ” Tanah Partikelir” yaitu tanah yang luas berserta penduduknya di jual oleh Belanda ke orang-orang eropa. Awal tahun 1830 perkebunan baru dengan sistim “Tanam Paksa”. Tanah garapan petani pribumi jadi sasaran pengawasan VOC dan lahan yang Prijanganstelsel di tanami kopi. Sistem Prijanganstelsel di hapus tahun 1870 di buat undang-undang agraria (Agrarishe Wet) yang mengatur aturan pertanahan tapi tetap tidak berpihak pada pribumi.

Pada zaman Jepang politik agraria di utamakan dalam penyediaan bahan makanan untuk perang. Negara Indonesia di jadikan benteng pertahanan melawan sekutu. Produksi terhadap pangan bergerak pesat. Tehnik pertanian baru, perluasan area pertanian, penanaman komoditi baru. Aturan semakin mencekik rakyat, rakyat harus menyerahkan 20% hasil padi, rakyat di wajibkan berkerja paksa (romusha) tampa bayaran. Tanah milik rakyat di paksa untuk menanam komoditi yang di wajib tanam. Hutan semakin di perluas untuk di jadikan lahan pertanian. Organisasi dalam masyarakat di bentuk oleh Jepang, seolah-olah untuk kepentingan kemakmuran rakyat padahal taktik untuk penguasaan terhadap hasil bumi pribumi. Jepang membutuhkan pangan untuk pembekalan perang Asia Timur Raya. Seluruh kegiatan produksi, ekonomi, distribusi di awasi dengan ketat oleh Jepang. Penjajahan Jepang merubah sosial budaya dan kebiasaan rakyat pribumi secara keseluruhan. Tiga setengah abat Jepang menjajah membuat penderitaan panjang bagi pribumi dalam hal agraria di pulau Jawa.

Sampai dengan abad 20 VOC membuat sistim untuk penguasaan agraria di daerah Priangan yang membuat bentang alam gunung, hutan dan lahan pertanian penduduk pribumi rusak dan banyak terjadi peristiwa bencana alam terjadi. Kita yang hidup di zaman ini di tinggalkan dengan kondisi agraria yang tidak jelas pengaturannya, tidak jelas hak penduduk pribumi, meninggalkan kondisi abu-abu.

Pada awal kemerdekaan para pemimpin bangsa Indonesia sangat sedih melihat kondisi alam agraria di tanah pulau Jawa akibat politik agraria oleh penguasa feodal, kolonial, membuat pemimpin bangsa berfikir berjuang untuk mengakhiri penderitaan rakyat dan menciptakan keadilan untuk rakyat dan membuat rakyat sejahtera. Pada tahun 1949, rakyat petani menduduki dan menggarap tanah eks perkebunan asing yang terlantar. Perjanjian konferensi Meja Bundar (KMB) yang di diselenggarakan di Den Haag Belanda dalam butir isi perjanjian mengembalikan kembali tanah perkebunan yang diduduki masyarakat kepada pemegang haknya yaitu pemodal awal yaitu kaum swasta Belanda. Rakyat sangat kecewa dan diusir.

Pada tahun 1957 pemerintah Republik Indonesia membatalkan sepihak perjanjian KMB dan membuat kebijakan melakukan Nasionalisasi Perusahan Milik Asing melalui Peraturan Pemerintah yaitu Perpu No. 86/1958 dan perundang-undangan pelaksanaannya dengan mendirikan Perusahan Negara Perkebunan (PNP) yang di pimpin dan di pegang oleh Panglima Perang RI.

Penulis jadi ingat akan cerita Pejuang (Aki Rohidin) almarhum (22 Februari 2025) sebagai pejuang tanah air yang di berikan amanah menjaga ribuan hektar tanah perkebunan di wilayah Bandung Barat, artinya bahwa peraturan berupa Perpu itu ada yang menyatakan eks perkebunan asing di pegang oleh angkatan perang RI.

Permasalahan tanah Partikelir sangat menjadi hal sangat berat dalam penyelesaiannya. Luas tanah setengah juta Ha. Tuan-tuan tanah berkuasa tampa batas ibarat membentuk kerajaan dalam RI. Pribumi, petani sebagai buruh, budak yang harus patuh pada tuan tanah. Tahun 1958, pemerintah membuat UU No. 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah Partikelir dengan segala bentuk aturannya, hak tuan tanah di hilangkan. Tanah di bagikan pada petani penggarap keluarga tuan tanah. Penyelesaian tanah perkebunan dan tanah Partikelir adalah bentuk reformasi agraria pada awal negara RI. Tetapi tetap meninggalkan bentrokan-bentrokan dalam masyarakat.

Politik agraria dengan UU Agraria no 5 tahun 1960 tentang Aturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA) merubah keadaan pertanahan namun melahirkan pertentangan dengan adanya lembaga “land reform” menjadi arena pertarungan elit nasional yang sangat dramatis dari rezim orde lama ke orde baru, muncul peristiwa hampir sejuta orang, dari elit politik, rakyat, petani di tunduh sebagai anggota PKI dan mati terbunuh. Penerima land reform dan kerabatnya yang di tuduh PKI, rakyat dan petani harus meninggalkan tanah garapan dan tempat tinggal. Cerita dari ahir UUPA di hentikan seluruh pelaksanaanya.

Betapa ironis kehidupan agraria daerah Priangan dan penduduknya atas politik agraria penguasa feodal, kolonial dan pasca kolonial. Tanah yang menjadi warisan leluhur dengan konsep pertanian yang di wariskan oleh leluhur Sunda berubah alam agraria menjadi agraria ekologi yang rusak.

Propinsi Jawa Barat yang tersisa keadaan hutan yang beralih fungsi dan hutang gundul dan membuat daerah Priangan udaranya tidak sejuk dan banyak hilang mata air. Bencana Alam 10 tahun ini di daerah Propinsi Jawa Barat banyak terjadi tanah longsor, banjir bandang, kebakaran hutan, tanah retak dan lainnya.
Kondisi ekologi semakin besar pengerusakan hutan dan hilangnya mutu lahan.

Penulis sangat bersemangat untuk menuliskan judul di atas, sebagai pengetahuan masyarakat Propinsi Jawa Barat saat ini bahwa ada rentetan peristiwa mengapa masalah agraria menjadi masalah yang tidak ada hentinya dan tidak ada penyelesaian. Masalah kerusakan bentang alam yang membuat banyak terjadi bencana.

Pada zaman kita saat ini masih adakah penjajah yang menguasai pertanahan terutama di Propinsi Jawa Barat yang masih menggunakan sistim peninggalan penjajah?

Bagaimana penyelesaian, akankah petani dan rakyat kita dapat merdeka memproduksi tanah untuk kepentingan kemakmuran rakyat pribumi. Perlukah mengali kembali Perpu No. 86/1958 dan membuat aturan yang berpihak pada rakyat sebagai pribumi.

Pada saat itu tumbuh semangat untuk merebut tanah air dan kemerdekaan bangsa yang muncul dari petani dan rakyat di akibatkan politik agraria yang menyengsarakan rakyat. Politik agraria saat itu sangat tidak berpihak pada pribumi sehingga munculnya perjuangan untuk merebut tanah air dan keinginan membubarkan pertanahan dari sistim feodal modal asing.

Sistem yang mengatur agraria di tanah air kita selain yang tertulis diatas masih banyak pergerakan dan aturan tentang agraria. Masa orde baru dengan sistim membentuk di buat himpunan organisasi untuk mengatur pertanahan di tanah air kita. Agraria di masa reformasi dengan terbentuk Kementrian kehutan untuk program pertanahan di tanah air kita dan muncul sistem lainnya yang mengatur agraria di tanah air kita dengan undang-undang agraria yang berganti-ganti
sampai pada pemerintahan saat ini.

Penulis berharap ada penyelesaian atas rusaknya bentang alam yang ada di Propinsi Jawa barat bahkan seluruh tanah air Indonesia. Sangat perlu nilai kearifan lokal tatar Sunda yang sudah di wariskan oleh leluhur Sunda untuk jadi obat penyembuhan kondisi alam yang rusak dengan aturan dan tatanan leluhur sejati tanah Nusantara kita tercinta. Harapan pemerintah Propinsi Jawa Barat mendapat solusi terbaik untuk penyelesaian rusaknya bentang alam Propinsi Jawa Barat. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua penduduk Nusantara.

Adakah konsep konservasi alam dengan gerakan reboisasi dan kembali mengali sejarah pertanahan di zaman kerajaan Sunda Galuh (Pajajaran), mungkin akan kita temukan sejarah utuh dimana posisi agraria pada zaman itu.

Tumbuhnya kesadaran dalam jiwa rakyat atas akan pentingnya alam untuk di jaga dan di lestarikan. Tanah air ini adalah warisan leluhur bangsa kita, harus berdaulat dalam kepemilikan oleh bangsa kita sendiri, sehingga tercipta kemerdekaan sejati dalam
rasa bangsa kita. Kedepan anak cucu kita dapat sejahtera hidup tampa menanggung beban berat atas masalah-masalah di lingkungan dan negeri tercinta.

“Geus waktuna Sunda ngaji wa ka Nusantara”

Bandung, 13 April 2025
Yayasan Sunda Tigabelas Buhun