TRI TANGTU SUNDA (Purbatisti – Purbajati Sunda) Oleh : Ambu Rita Laraswati (Pelukis & Budayawati)

Fokus Jabar Seni dan Budaya Sosial

JAWA BARAT | FOKUSPRIANGAN.ID – Nama Kerajaan Sunda dari berbagai sumber naskah dan sumber berita sejarah dan prasasti menunjukkan kerajaan Sunda itu ada di Nusantara ini. Sunda adalah kerajaan atau negara yang sudah ada dan memerankan pemerintah nya sejak sekitar menjelang ahir abah ke -7 sampai ahir abad ke-16. Dengan kurun waktu yang berabad-abad kejayaan Sunda berlangsung tentunya ada konsep, metode menjalankan suatu roda pemerintahan dalam kerajaan Sunda.

Dalam roda pemerintahan zaman kerajaan Sunda kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Di bawah raja ada namanya mangkubumi yang bertugas melaksanakan tugas harian dengan membawahi orang yang di sebut nu nangganan, hulujurit, mantri. Di daerah-daerah ada raja kecil yang mengurus pemerintahan di daerah dengan aturan dan kebijakan oleh raja daerah sendiri sesuai dengan kondisi daerah masing-masing (Otonomi Daerah). Namun raja Sunda tetap jadi junjungan mereka raja-raja daerah. Putra mahkota akan memegang tampuk kepemimpinan mengantikan raja jika raja meninggal dan menjadi penerus untuk menjalankan roda pemerintahan.

Pada zaman kerajaan di tatar Sunda dalam melaksanakan roda pemerintahan dikenal dengan “tria politika” yang menjadi pedoman disebut TRI TANGTU di Bumi yang aplikasinya dalam wujud “tri warga di lamba” yaitu pedoman menata dan mengatur fungsi, peran dan kedudukan seseorang. Persyaratan seseorang harus memiliki budi pengerti, ilmu, ucapan baik, jujur, bijaksana.

Istilah Tri Tangtu di Bumi kurang di kenal oleh orang Sunda lama. Tangtu Teuleu atau Hukum Tilu atau Pikukuh Tilu yang di pakai di kampung Kanekes. Pengertian Tangtu Tilu (hukum tiga) terdiri dari dua aspek besar yaitu aspek agama atau religi (trinitas, trimurti) dan aspek pemerintahan.

Zaman kerajaan Sunda Tri Tangtu lebih pada aspek pemerintahan namun merupakan aplikasi atau pengejawantahan dari aspek religi. Aspek religi menghasilkan falsafah bagi orang Sunda yaitu hukum Tuhan. Hukum Tuhan adalah hukum pasti atau hukum tangtu (pasti) yang memiliki pemahaman bahwa alam adalah yang menjadikan proses awal atau wiwitan yang dalam istilah Sunda di sebut hukum pepelakan (hukum tanaman). Tri Tangtu dalam religi orang Sunda menyakini tiga unsur yang menghidupkan dan yang di hidupkan yaitu Tuhan, Alam, Mahluk.

Tri Tangtu ada berawal dari pencarian jati diri, yang menjadi pertanyaan besar bagi seorang pribadinya yaitu: siapa aku, dari mana aku, hendak kemana aku. Pencarian jati diri sangat di pengaruhi oleh alam lingkungannya, terbentuk atas apa yang di lihat dan di rasakan. Pencarian itu menghasilkan kesimpulan atas kata dan pengertian Tuhan. Dari konsep Tuhan maka munculkan Filosofis dan Agama. Disiplin hidup, sistem, aturan dan tatanan. Semua hal di atas menjadi subsistem yang di sebut adab budaya.

Budaya merupakan suatu prinsip hidup karena berkaitan dengan alam lingkungan, karena alam adalah sumber kehidupan yang paling utama. Tampa Tuhan tidak ada alam, tampa alam tidak ada manusia dan mahluk yang lain yang terus hidup dan berkehidupan.

Alam yang sempurna di ciptakan oleh yang Maha Sempurna, maka muncullah tiga ketentuan dalam bahasa Sunda yaitu ” Gusti Nu Maha Asih, Gusti Maha Suci, Gusti Nu Maha Agung”. Orang Sunda sangat dalam rasa rumasa dan tumarimanya, orang Sunda menyadari bahwa segala sesuatu yang ada bahkan dirinya sandiri ada yang menciptakn dan memiliki, semua adalah titipan, titipan suatu saat akan kembali kepada yang menciptakan dan yang menitipkan yaitu suatu hal yang awal ada dan berada yaitu Tuhan. Hal inilah akhirnya ada istilah kata “Wiwitan, Kawitan” (Sunda Wiwitan) yang menjadi keyakinan dan prinsip hidup orang Sunda. Kesadaran orang Sunda dalam pemahaman, pemaknaan kehidupan bahwa manusia harus menjaga titipan Tuhan menumbuhkan rasa harus mengasuh diri sendiri, sesama manusia, sesama mahluk dan lingkungan sebagai pendukung kehidupan. Inilah dasar adanya falsafah hidup orang Sunda yaitu: Asih, Asah, Asuh.

Raja Sunda yang menjalani falsafah sunda mendapatkan julukan Siliwangi, artinya Siliwangi adalah suatu karakter sifat yang penuh kasih sayang. Siliwangi ini merupakan kodrat alam dari Tuhan, berupa kemuliaan dan keluhuran. Siliwangi adalah mahkota alam yang di berikan oleh alam. Eyang Prabu Siliwangi membuat suatu ajaran dan ucapan “Kamulian sajati nu bisa ngajalankeun welas asih kasadaya mahluk ciptaan Gusti”. Artinya kemulian itu akan datang kepada orang yang menjalankan cinta kasih pada semua mahluk yang di ciptakan Tuhan. Harapan dari leluhur, anak cucu kedepan memiliki dan dapat mewarisi sifat Siliwangi.

Orang Sunda meyakini ada tiga unsur di alam kahyangan atau alam gaib yaitu Wenang, Kala, Wening. Wenang adalah kehendak Tuhan, hanya Tuhan yang berwenang atas semua yang ada di alam semesta yang di sebut Alam Pawenangan. Kala merupakan proses penciptaan yang merupakan kehendak dari Tuhan yang mengunakan waktu artinya kala adalah waktu. Wening adalah segala sesuatu yang di ciptakan dan harus menerima, tunduk kepada kehendak Sang Pencipta artinya kita manusia, hamba pasrah, menerima bahwa Tuhan adalah Sang Kuasa dalam arti “Tauhid”. Tiga unsur tersebut dimanifestasikan menjadi Tuhan, alam, manusia yang menjadi dasar lahirnya TRI TANGTU (tiga ketentuan) yang menjadi dasar akar falsafah Sunda. Tri Tangtu di refleksikan dan diterapkan menjadi sistem dan subsistem menjadi budaya dalam mengatur dan menata tatanan di bidang sistem sosial, sistem negara, hukum, religi, seni dan lainnya.

Tiga Unsur wenang, kala, wening dapat menjadi simbol “Tri Tangtu Salira” yaitu tiga titik pusat di bagian tubuh manusia yaitu: dada, perut, kepala (titik DA, SA, RA).
Titik DA pusatnya di dada yaitu organ jantung tempat energi yang berdenyut menandakan kehidupan yang berasal dari Tuhan. Pusat dada tempat jantung di sebut wilayah asih, Wilayah Tuhan. DA=Welas Asih Tuhan. Dalam filsafat Tri Tangtu Salira DA adalah wilayah Asih (Rama Ketuhan)

Titik SA, pusatnya di perut terdapat di pusar (udel). Pusar sebagai pusat proses perwujudan, manusia di wujudkan raga di dalam perut ibu melalui tali ari-ari yang menyambung pada bali dan pusar bayi. Perut adalah wilayah dari unsur alam yang membentuk manusia dari segumpal darah menjadi tulang, sumsum darah, daging, organ, sempurna jadi manusia (kakang kawah adi ari-ari).
SA=Wujud Diri. Wilayah Asah (Resi Alam).

Titik RA, merupakan pusat syaraf yang ada di otak berfungsi sebagai pusat pengendali badan. Wilayah ini pusat ada pada akal manusia, dasar yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Kepala adalah wilayah kemanusian disebut wilayah “Asuh”. Dalam ajaran Sunda ada istilah “Adeg-adeg kamanusaan” sebagai pepeling yaitu “Mukakeun ati manusa pikeun ngamanusakeun manusa dina wujud kamanusaan”. Titik RA di lambangkan sebagai matahari, manikmaya, rajawali, singa atau titik jenar (merah). Ra adalah merupakan pusat syaraf yang ada di sumsum tulang belakang yang berjumlah 25 ruas dan 7 ruas tulang leher yang dilambangkan sebagai Naga mas atau naga kuning. Jumlah 25 + 7 + 1 = 33 dalam tradisi lisan orang Sunda Baduy di artikan tinggi tiang istana Pajajaran adalah 33 deupa. Penulis memaknai istana Pajajaran adalah raga, badan manusia sendiri yang harus bisa, mensejajarkan kepada alam lingkungannya. Angka 33 deupa artinya manusia dalam mensejajarkan diri tidak lepas dari tiga ketentuan (Tri Tangtu). Naga dapat di artikan raga atau badan kita sendiri. Di ajaran Hindu dan Jawa di sebut titik kundalini. Kundalini dalam bahasa sansekerta berarti “ular yang melingkar” yang merujuk pada energi vital yang merupakan energi yang berasal dari kekuatan Ilahi. Energi yang di lepaskan melalui 7 cakra tubuh keluar melalui cakra di atas kelapa. Kundalini di sebut juga energi kosmik ( William F. Williams). Kundalini dapat di sebut mata ketiga.

RA yang berpusat di otak sebagai pusat pengendali kehidupan dan mewujudkan kehidupan adalah Tri Tangtu yang di sebut “Tri karma” yang terdiri atas Bayu, Sabda, Hendap (pikiran, ucap, lampah). Bayu, Sabda, Hendap memiliki energi dan setiap manusia mempunyai frekuensi masing-masing. Gabungan tiga unsur energi ini di sebut RAHA atau Roh. Dalam filsafat Tri Tangtu Salira RA adalah wilayah Asuh (Ratu Kemanusiaan). Dasar hal di atas adanya konsep Tri Tangtu di Bumi yaitu: Rama, Resi, Ratu.

Ketiganya mempunyai tugas berbeda namun ketiganya tidak dapat di pisahkan. Dunia kemakmuran tanggung jawab Sang Rama di representasi dari unsur Tuhan yang di manifestasikan dalam tugas spritual. Rama adalah sosok manusia yang sudah meninggalkan kepentingan bersifat duniawi dan lahiriah, sehingga dapat konsisten menjaga rasa asih yang luhur, penuh kebaikan hati dan kebijaksanaan.

Dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab Sang Resi.Tugas Resi merupakan representasi dari unsur alam sebagai penyedia kepentingan kehidupan. Para Resi merupakan ahli mengajarkan ilmu atau guru dalam berbagai bidang yaitu militer, pendidikan, pertanian, perdagangan, kesehatan, seni dan keilmuan lainnya. Berfungsi sebagai asah.

Dunia pemerintahan tanggung jawab Sang Ratu. Bertugas sebagai representasi unsur manusia untuk mengasuh seluruh kegiatan dan menuju kejayaan negara, dengan misi asuh yang mampu menjadi pemerintah sebagai pamong atau pangereh untuk keseluruhan kesejahteran yang merata dan adil.

Tri Tangtu di Bumi masing-masing memiliki teritorial sendiri tidak saling berebut wilayah (te pecorokokot). Tri tangtu di Bumi merupakan konsep pembagian peran dalam tatanan sosial dan negara. Inilah pemahaman ajaran Sunda dalam konsep budaya Sunda merupakan refleksi dan representasi tiga unsur besar alam jagat semesta raya yaitu Tuhan, Alam, Manusia.

Konsep inilah yang di pakai oleh leluhur Sunda pada zaman kerajaan Sunda-Galuh yang membawa pada masa kejayaan, keemasan, subur makmur, gemah ripah loh jinawi, aman, tentram, rahayu bagja waluya. Kekuasan raja dapat berlangsung lama sampai beratus-ratus tahun. Terbukti adanya prasasti Sanghyang Tapak tahun 1030 (Pleyte 1915) dari Maharaja Sri Jaya bupati penguasa kerajaan Sunda dan bukti lainya.

Tri Tangtu dapat menjadi simbol warna, cahaya yaitu putih, kuning, merah. Tiga warna dapat di aplikasikan dalam makanan, warna kain, benda-benda untuk kebutuhan. Tri Tangtu dapat disimbolkan dalam rumah orang Sunda dalam bentuk segitiga yang dapat di lihat pada atap yang di sebut, “Cagak Gunting” sebagai simbol alam ghaib dan alam nyata, rumah tempat kita berdiam. Rumah Sunda terdiri dari tiga bagian yaitu tatapakan (kolong), bagian tengah, atap.

Pada Zaman kerajaan Sunda Tri Tangtu merupakan hasil putusan para pangagung (pembesar) dan para purohita (pandita) Negri Galuh dan Ngeri Sunda yang betul-betul di junjung di atas kepala, di simpan dalam hati di terima dengan lahir batin “ti luhur saucap buuk, ti handap sausap dampal”, benar- benar di pegang sebagai tugas untuk mengurus negara (ngaheuyek dayeuh ngolah nagara).
Tri Tangtu di Bumi merupakan purbatisti-purbajati Sunda yang merupakan dasar budaya dalam mengurus tatanan negara yang pernah di jalankan oleh Hyang Aki Mahapraburesi Niskala Wastu Kencana saat itu merupakan Ratu Agung Tatar Sunda.

Tri Tangtu di Bumi merupakan tiga konsep yang menjadi payung negeri (tilu lulugu papayung nagri).
Memiliki tiga tatanan Tri Tangtu di Bumi yaitu:

Jagat palangka di sang prabu, jagat daranan sang rama, jagat kreta di sang resi.

Bukti bahwa Tri Tangtu di Bumi sebagai tatanan terdapat dalam keropak K. 406 cerita parahyangan: “anaking sang prebu, rama, resi samadaya sarerea siya marek kapakwan unggal tahun” artinya: “anakku prabu, rama, resi bersama-sama semuanya menghadap ke Pakwan tiap-tiap tahun”.

Kerajaan Sunda yang kedudukan ibu kota di Pakuan dengan keraton/kedaton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, singkatnya di sebut keraton Pajajaran karena bangunan yang bentuk sama dan posisi berjajar. Kedudulan Prabu/raja di pegang oleh Gusti Prabu Susuk Tunggal, Kedudukan Rama di pegang oleh Prabu Anom Jayadewata, kedudukan Resi di pegang oleh Ki Purwa Kalih yang julukannya Batara Lengser.

Tiga kedudukan yang berbeda-beda tanggung jawab, tidak boleh merebutkan kedudukan, tidak boleh memanfaatkan kedudukan, tidak boleh banyak meminta, karena kedudukan sama-sama mulia. Ketiganya harus saling memuliakan dengan sikap, ucapan, lampah agar tercipta fisi misi tujuan kehidupan yang sejahtera bagi masyarakat dan negara.

Bagimana dengan kondisi pemerintahan RI masa ini, dengan tidak lagi mengunakan sistim kerajaan tentunya merubah konsep dalam menata kehidupan masyarakat dan negara. Saya sebagai penulis mengajak pembaca untuk berfikir perbedaan di antara konsep menata negara zaman kerajaan dan zaman RI. Apakah konsep kerajaan dalam menata kehidupan masyarakat dan negara dapat di aplikasikan di kondisi bangsa dan negara kita dalam kondisi krisis kepemimpinan dan krisis moral dalam kehidupan masyarakat.
Dimana peran umaro/ulama, peran pemimpin dan peran wakil rakyat yang sudah tumpang tindih (pecorokokot). Tentunya tidak seperti membalikkan telapak tangan. Dunia berubah, alam berubah, perlukah tatanan Sunda di jadikan konsep dalam menata dunia. Semua saya kembalikan kepada para pembaca yang budiman.
Saya hanya sebagian penyambung lidah, kepedulian saya terhadap budaya dan tanah air mengharuskan saya menulis hal diatas, semoga menjadi pengetahuan.

Bandung, 20 Maret 2025
Yayasan Sunda Ketigabelas Buhun