JAKARTA. FOKUSPRIANGAN.ID – Calon anggota Bawaslu, Puadi saat menceritakan dirinya yang meloloskan caleg eks koruptor ketika Pemilu 2019 lalu. Uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI kembali digelar pada Rabu (16/2/22).
Pada saat fit and proper test berlangsung terdapat cerita yang dikatakan oleh salah satu calon anggota Bawaslu RI, Puadi.
Di lansir dari tribunews. com,
Dirinya menceritakan pengalamannya saat meloloskan mantan eks koruptor sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2019 lalu.
Menurut Puadi, apa yang dilakukannya adalah sebagai salah satu kerja profesional.
Selain itu, ia juga menjelaskan di mana terdapat perbedaan dalam Undang-Undang Pemilu dan Peraturan Komisi Pemiliihan Umum.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018.
Diketahui, Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 memang melarang eks koruptor untuk tidak boleh mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
Namun pada UU Nomor 7 Tahun 2017, eks koruptor tidak dilarang untuk menjadi caleg.
Bahkan, menurut Puadi, UU ini membuka ruang bagi mantan terpidana untuk maju menjadi caleg selama terbuka dan jujur bahwa dirinya adalah mantan narapidana.
“Karena bertentangan antara PKPU (Peraturan KPU) dan undang-undang, kita harus merunut pada tata urutan perundang-undangan bahwa undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan kepada peraturan yang ada di bawahnya,” ujar Puadi dikutip dari YouTube Komisi II DPR.
Walaupun keputusannya pahit, dirinya hanya melaksanakan aturan Pemilu yang sudah ada.
Selain itu, ia juga mengaku tidak mengambil keputusan dalam meloloskan eks koruptor ini secara sendiri tetapi juga ada pertimbangan dari para ahli hukum.
“Ini yang menjadi catatan pada saat itu, sehingga mau tidak mau putusan ini memang pahit untuk disampaikan,” katanya.
Achmad Badaowi saat Fit and Proper Test Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PPP, Achmad Badaowi saat bertanya kepada salah satu anggota calon Bawaslu, Puadi ketika fit and proper test pada. Rabu (16/2/22).
Awal diceritakannya pengalaman Puadi ini berdasarkan pernyataan dari salah satu anggota Komisi II DPR RI, Achmad Baidowi.
Baidowi menilai apa yang diputuskan oleh Puadi menurutnya adalah hal yang berani karena tidak ikut dengan arus publik yang saat itu eks koruptor tidak boleh menjadi calon anggota legislatif.
“Keberanian dari Bawaslu DKI Jakarta, tanda kutip ya, melawan arus publik, setiap ada caleg mantan napi koruptor dilarang, nah itu tepuk tangan luar biasa dari publik meskipun itu melanggar aturan.” ucap Achmad.
Dengan keputusan yang pernah dilakukan Puadi, Badouwi pun berharap pada salah satu calon anggota Bawaslu itu untuk tetap konsisten dalam menegakkan aturan.
“Situasi seperti ini, saya berharap konsistensi Pak Puadi dalam menegakkan aturan ketentuan perundang-undangan tidak perlu terpengaruh oleh desakan-desakan publik, yang penting tegak lurus terhadap ketentuan perundang-undangan,” ujar Baidowi.
Dikutip dari Kompas.com, Bawaslu DKI Jakarta pernah meloloskan mantan koruptor sekaligus politis Partai Gerindra, Mohamad Taufik dapat mencalonkan diri dalam Pemilu Legislatif 2019.
Pada saat itu, KPU DKI Jakarta meloloskan Taufik karena mengikuti edaran KPU RI untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA).
diketahui memutuskan mantan narapidana kasus korupsi boleh mengikuti Pemilihan Legislatif (Pileg).
Ketika putusan uji materi tersebut, MA menyatakan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan UU Pemilu.
Selain melarang eks koruptor, pasal tersebut juga mengatur soal larangan bagi mantan bandar narkoba dan mantan pelaku kejahatan seksual pada anak untuk maju menjadi calon legislatif.
Sementara mengenai kasus korupsi yang dilakukan oleh Taufik adalah tentang pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004 sebesar Rp 488 juta pada 27 April 2004.
Setelah ditetapkan menjadi terdakwa, Taufik pun divonis selama 18 bulan penjara. (Nur Azizah)