JABAR | FOKUSPRIANGAN.ID – Pada awal tahun 2025 banyak terjadi bencana alam seperti banjir, angin puting belung, topan, banjir bandang, banjir bah air laut, tanah longsor, tanah retak, gempa dan lainya. Bencana merupakan suatu peristiwa dan keadaan membawa duka, menghilangkan nyawa, harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan ekonomi, psikologi. Jenis bencana yaitu bencana non alam, bencana sosial, yang banyak di akibatkan dari sikap dan prilaku manusia yang serakah.
Bencana alam yang terjadi di wilayah Jawa Barat terkhusus yang terjadi di kota Bogor, Bekasi, Tanggerang, Sukabumi, Cirebon, Bandung bahkan di wilayah lain di luar Jawa Barat banyak terjadi musibah banjir. Bencana banjir di sebabkan oleh aktifitas dari alam itu sendiri dan akibat ulah manusia itu sendiri. Yang di sebut alam terdiri dari lima unsur yaitu; Udara (Angkasa), Air, Bumi, Satwa, Tumbuhan yang merupakan sumber pokok bagi kehidupan semua mahluk di bumi. Bila Alam rusak maka akan menimbulkan bencana besar.
Secara geografis, Jawa Barat dibagi menjadi lima wilayah yaitu: (1) Wilayah bagian rendah yang merupakan daerah dataran rendah yang luasnya membentang dari Selat Sunda sampai Cirebon, jika kita ke wilayah tersebut kita tidak menemui bukit lembah dan gunung, (2) Wilayah Pegunungan tengah di sebut zona Bogor, (3) Wilayah Punggungan Bayah atau Kubah, (4) Wilayah Dataran Bandung, (5) Wilayah pegunungan Selatan Jawa Barat yang membentang sepanjang pantai selatan dari Selat Sunda di barat sampai timur.
Secara klimatologis Jawa Barat beriklim tropika basah dengan curah hujan tinggi, bilamana hujan turun di atas normal dapat menyebabkan rawan bencana tanah longsor dan banjir. Faktor terjadinya tanah longsor meliputi morfologi permukaan tanah, penggunaan lahan, struktur geologi, curah hujan dan gempa dan ini merupakan bencana terjadi secara alamiah. Penyebab bencana dari faktor manusia yaitu kegiatan pertanian, penggunaan lahan lereng, pemotongan lereng, penambangan, alih fungsi lahan hutan menjadi wisata dan lain-lain.
Berita bencana banjir kota Bogor yang viral di media sosial di akibatkan puncak bukit yang seharunya menjadi lahan terbuka hijau, di tumbuhi pohon-pohon besar yang berfungsi untuk penyerapan air hujan menjadi wisata yang di beton, sehingga air hujan tidak dapat meresap ke tanah dengan maksimal, air turun langsung ke lembah atau sungai dengan kapasitas air yang besar sehingga menjadi banjir bandang, terjadilah bencana yang sampai ke kota pemukiman masyarakat. Perihal bencana tersebut memaksa pemerintah propinsi Jawa Barat harus melakukan tindakan menutup operasi wisata dan melakukan pembongkaran untuk di kembalikan menjadi fungsi awal sebagai hutan terbuka hijau.
Tindakan tersebut menurut penulis adalah tindakan yang tepat sekali untuk mengembalikan fungsi hutan agar kedepannya bencana banjir tidak terulang lagi. Orang Sunda sangat menjaga hutan (Leuweung) karena hutan berfungsi sebagai pelindung dalam keseimbangan hidup manusia. Leluhur Sunda sudah menitipkan hutan (Leuweung titipan) yang berfungsi sebagai “Sirah Cai” (hutan mata air) tempat bersemayamnya air hujan yang turun dari angkasa.
Kondisi lingkungan geografis Jawa Barat memaksa masyarakat untuk memanfaatkan alam dengan baik tidak merusak alam. Manusia yang hidup dalam suatu lingkungan alam akan terbentuk prinsip yang kuat baik fisiknya dan mental, spiritualnya oleh lingkungan alam itu sendiri, sehingga leluhur sunda memiliki pemahaman bahwa alam lah yang mengasah mereka.
Alam harus dilestarikan, dijaga karena alam menjadi penopang untuk kehidupan manusia dan mahluk lainnya. Hal mendasar mengapa orang Sunda harus menjaga alam, tampat alam manusia tidak bisa hidup dengan baik, untuk mendapatkan kehidupan baik, aman, tentram, cukup sadang pangan, cukup air jernih, udara segar, terhindar dari bencana alam artinya alam harus di rawat, dijaga dan dilestarikan.
Leluhur orang Sunda sudah memahami bahwa wilayah Jawa Barat sangat rawan bencana, sehingga sikap peduli pada alam leluhur Sunda sangat besar kepeduliannya, karena menyangkut kehidupan sampai anak cucu kedepan.
Leluhur Sunda dalam memilih lahan untuk pemukiman sudah memiliki ilmu yang menjadi panduan agar terhindar dari bencana. Pemukiman harus dekat dengan sumber kehidupan dan jauh dari kondisi tanah yang rawan terjadi bencana. Dalam naskah kuno yaitu: “Warugan Lemah”, isi naskah menerangkan jenis-jenis lahan yang baik dan yang buruk untuk pemukiman penduduk.
Jenis lahan terdiri dari 18 jenis. Dalam pemilihan lahan ada ilmu deteksi tanah, tanah jenis dan ciri seperti apa yang baik dan tidak baik di jadikan tempat hunian dan bercocok tanam. Dalam membuat rumah memakai hitungan arah yang tepat. Penjelasan tentang jenis – jenis tanah di atas akan kita buat tulisan yang lebih khusus.
Sikap leluhur Sunda dalam menjaga alam menjadi adab budaya dan menjadi nilai luhur dalam penemuan jatidiri menjadi manusia Sunda yang hidup di alam yang subur makmur, “Cai cur-cor pasir jeung lebak hejo ngemplok”. Gunung-gunung yang di tumbuhi berbagai jenis pohon, tak terhitung jenis tumbuhan dan hewan yang semua itu memberi manfaat untuk manusia. Leluhur Sunda sudah tahu siapa yang mencipta seisi alam yaitu Tuhan, sehingga tercipta suatu tuntunan budi luhur yaitu “Gusti anu asih, Alam anu nga-asuh, Manusia anu nga-asuh, kujur, batur jeung lembur”.
Tuntunan di atas menjadi dasar adanya sifat Siliwangi yang menjadi falsafah orang Sunda yaitu Asih, Asah, Asuh. Sifat Tuhan yang penuh kasih sayang dalam bentuk alam adalah hasil dari kehendak Tuhan dan dalam istilah hukum alam, hukum alam adalah hukum Tuhan, merusak alam artinya merusak kehendak dan ciptaan Tuhan.
Orang Sunda memiliki sistim pengetahuan dalam konsep kebudayaan dan menjadi falsafah yaitu “tritangtu” yang meliputi tiga unsur yakni manusia, alam semesta dan Yang Maha Kuasa. Orang Sunda sudah memiliki kesadaran tinggi lewat konsep tritangtu hingga memaknai dan membaca alam lingkungannya dengan berfikir dan berprilaku dalam menjalani kehidupan. Mengenai tritangtu akan kita tulis, dalam artikel berikutnya lebih mendalam.
Orang Sunda sangat memelihara adat istiadat, kebiasaan nenek moyang yang turun menurun. Masyarakat Baduy merupakan contoh nyata yang masih patuh dan taat kepada amanat leluhurnya dapat kita lihat dalam pepatah yang berhubungan lingkungan memelihara alam yaitu: Gunung teu beunang dilebur, Lebak teu beunang dirakrak, Buyut teu beunang di robah, Larang aya di darat di cai, Gunung aya maungan, Lebak aya badakan, Lembur aya kokolotan, Leuwi aya buayaan. (Gunung tidak boleh dihancurkan, Lebak tidak boleh dirusak, Buyut tidak boleh di robah, Tidak boleh merusak air, Tidak boleh merusak darat, Gunung ada hewan harimau, Di kampung ada orang yang dituakan, Lembah ada hewan badak, Sungai ada hewan buaya). Artinya orang Sunda dalam menjalani kehidupan selalu berupaya dan menjaga untuk hidup berdampingan dengan mahluk lain yang ada di alam. Orang Sunda selalu menjaga alam, alam bukan untuk diekspoitasi tetapi untuk di manfaatkan kelangsungan hidup sebagaimana mestinya. Falsafah orang Sunda bahwa hidup bersama alam, alam dan manusia adalah sejajar artinya memiliki kedudukan yang sama. Jadi Bencana yang datang adalah akibat manusia telah merusak alam dan membuat tidak seimbangnya alam.
Kondisi Giogerafis dan Klimatologis lingkungan tatar Sunda atau Jawa Barat telah membentuk falsafah hidup yang mengajarkan masyarakatnya secara turun- tumurun hidup bersama dengan alam dan menjaga kelestarian agar tetap dalam harmonis dan keseimbangan.
Mengapa orang Sunda harus menjaga alam. ? Karena alam bagi orang Sunda adalah ciptaan Tuhan untuk manusia berkelanjutan hidup di muka bumi. Manusia akan berkembang biak, anak cucu butuh alam untuk hidupnya artinya alam yang lestari adalah warisan berharga untuk generasi berikutnya.
Dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian me jelaskan, “Mana kerta na bawana, mana hayu ikang jagat, kena twah ning janma kalahayu” (maka menjadi sentosa dunia, maka menjadi sejahtera kehidupan ini, karena perbuatan manusia yang serba baik). Falsafah orang Sunda dalam menjalani kehidupan di alam dunia harus berlaku baik terdapat dalam petuah yaitu “Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Singer”.
Alam Jawa Barat yang kondisi saat ini banyak beralih fungsi, hutan menjadi lahan pertanian sayuran, gunung dan bukit yang beralih menjadi wisata yang bukit di ratakan untuk bangunan hotel, perumahan dan lainnya, harus kembali di tinjau. Sangat jelas lingkungan alam Jawa Barat yang tidak memungkinkan membuat wisata di atas gunung, bertanam sayur di gunung. Kembali pemerintah dan masyarakat Jawa Barat bersatu padu membentuk kesadaran kolektif untuk membuat Jawa Barat bebas bencana alam.
Demikian tulisan ini di sajikan untuk lapisan masyarakat Jawa Barat dan masyarakat luas Indonesia.
Bandung, 10 Maret 2025.
Yayasan Sunda Tigabelas Buhun