BUDAYA “PASADUAN” SUNDA Oleh : Ambu Rita Laraswati (Penulis & Budayawati)

Fokus Jabar Pariwisata Pendidikan Seni dan Budaya Sosial

JAWA BARAT | FOKUSPRIANGAN.ID – Pasaduan adalah upacara tradisional di Wilayah Jawa Barat yang ada di masyarakat Sunda yang berkaitan dengan alam lingkungan sekitar tempat tinggal yang menggunakan simbol-simbol yang tampak terlihat dalam rangkaian kegiatan upacara. Simbol yang mengandung nilai kehidupan untuk tujuan mengingatkan diri bahwa kehidupan manusia sangat berhubungan erat dengan alam lingkungan dan merupakan upacara berkaitan dengan etika terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Rangkaian Pesaduan di wujudkan untuk mendapatkan petunjuk dari alam dan mencapai keseimbangan, keselarasan dalam menjalani kehidupan. Pasaduan berasal dari kata “sasadu”. Sasadu artinya nyeritakeun kasalahan seseorang bari menta dihampura (menceritakan kesalahan diri sendiri sambil mohon maaf). Para praktisi Pasaduan berpendapat bahwa Pasaduan adalah tempat untuk sasadu untuk minta izin untuk mengambil sesuatu (mipit amit ngala menta), tujuannya untuk mendapatkan keberkahan dari Tuhan, karena dari para leluhur, karuhun sebagai jembatan bagi manusia terlahir dibumi.

Artinya Pasaduan adalah suatu norma, etika yang harus di miliki dan di lakukan oleh seseorang dalam setiap tindakan dan menghasilkan sikap budi pengerti yang baik. Dengan demikian manusia telah berupaya untuk menciptakan kehidupan yang harmonis di alam jagat ini, artinya menjaga dan menjalin keseimbangan kehidupan baik dengan tuhan, alam lingkungan dan sudah berupaya merevitalisasi nilai-nilai leluhur dengan norma adat istiadat peninggalan leluhunya menjaga dan melestarikan kearifan budaya.

Wilayah Jawa Barat memiliki nilai-nilai budaya yang luhur, tidak terhitung jumlahnya upacara-upacara tradisional yang ada di Jawa Barat, Salah satunya adalah upacara tradisional Pasaduan. Upacara tradisional berupa ritual maupun seremonial baik yang berkaitan siklus kehidupan, sumber kehidupan, etika permohonan maaf, izin sesuatu harapan, terhindar dari bencana, syukuran di setiap daerah berbeda-beda dan lokasinya berbeda-beda sesuai niat dan tujuan upacara. Tempat atau lokasi upacara harus mempertimbangkan sifat magis dan historis.

Sebagian masyarakat Sunda memandang secara fisikal dan biologis alam memiliki kekuatan gaib seperti laut, gunung, sumber mata air, pemukiman dan hutan. Di kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka upacara “Ruat Lembur”
(Nyawer Tatar Sunda) kegiatan upacara di hutan, perkampungan. Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, nama upacara “Pasaduan RajahSaji Seba Rarung” yang di laksanakan di pantai laut. Kecamatan Lembang, Kabupanten Lembang.”Ruwatan Bumi” yang di laksanakan di Gunung Tangkuban Perahu. Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung “Ruwatan Sariksa” yang di lakukan di hutan gunung Patuha.
Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang “Ruwat Hulu Cai” yang di laksanakan Gunung Sunda.

Di wilayah Majalengka, Desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh, bertempat di bawah kaki gunung Ciremai, terdapat hutan seluas 4,5 ha, kolam pemandian. Di dalam hutan tersebut terdapat sebuah batu tegak kira-kira 50 cm yang di tutupi kain kafan di dalam saung Pasanggrahan, batu tetengger itu adalah bukti bahwa Prabu Siliwangi pernah berada di tempat itu menjadi tempat istirahat dan tempat itu menjadi tempat sakral dan menjadi tempat upacara Pasaduan.

Di Saung Pasanggarahan upacara Pasaduan di laksanakan, masyarakat duduk di depan batu tetengger, puja saji atau parawanten yang terdiri dari bunga setaman, dawegan, kemenyan, rokok cerutu, gula batu, buah-buahan, telur ayam, nasi tumpeng sebagai sesajen untuk penghormatan pada arwah leluhur yang sudah mewarisi tanah, air, tumbuh-tumbuhan untuk kelangsungan hidup anak cucu turunan.

Upacara di pimpin oleh kuncen dengan membaca kidung, rajah, ayat-ayat Alquran. Selesai Pesaduan sambil menunggu waktu pukul 24.00 (tengah malam) karena akan mandi di seke (mata air) bernama Sanghyang Talaga Pancuran dan Sanghyang Talaga Emas. Kuncen melakukan Pesaduan lebih dahulu sebelum mandi meminta izin ka nu ngageugeuh hulu cai (kepada penghuni mata air), lalu kuncen membacakan rajah pamungkas. Demikian rangkai Pasaduan yang ada di petilasan Eyang Perabu Siliwangi di Pajajar Majalengka.

Harapan dengan adanya Mentri di bidang kebudayan yang baru di sahkan, maka nilai-nilai kearifan lokal berupa upacara Pasaduan yang ada di wilayah Jawa barat khususnya dan yang ada di Nusantara umumnya dapat digali dan di lestarikan sehingga dapat menambah daftar kearifan lokal upacara Pesaduan. Generasi muda harus mengetahui nilai dari upacara Pasudan dan harus paham makna, nilai filosofi, tujuan agar kedepan setelah generasi tua tiada, maka generasi muda dapat melaksanakan, melanjukan untuk menjaga keseimbangan alam kita.

Kearifan budaya tradisional yang ada dalam upacara Pasaduan tidak terlepas dari unsur manusia sebagai pendukung kebudayaan, unsur alam lingkungan sebagai tempat tinggal. Kedua unsur ini harus tetap seimbang dan selalu lestari karena manusia tidak hanya menerima manfaat dari alam tapi harus pula mengatasi gejala alam yang dapat merusak alam dan mengancam kelangsungan kehidupan. Dimana masyarakat Sunda sejak zaman purba sudah paham pentingnya hubungan kepada Tuhan dan mengakui akan kekuasan Tuhan.

Menurut Koencaraningrat bahwa di dunia ini terdapat suatu kebudayaan yang amat mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya. Oleh karena itu nilai-nilai upacara Pasaduan yang menjadi sarana untuk hubungan antara Tuhan, sesama mahkuk, alam lingkungan harus kembali di bangkitkan dan di laksanakan agar marwah spritual terbangun dalam jiwa manusia dan rasa betapa sangat pentingnya upacara Pasaduan sebagai cara membentuk keselarasan alam, kelestarian, ketenangan, ketentraman lahir batin.

Semoga tulisan ini membangun jiwa setiap diri manusia untuk tidak lagi berfikir menilai terhadap kegiatan budaya yang ada pada masyarakat adalah musrik dan jauh dari nilai agama dan Ketuhanan. Mari kira bangkitkan, gali, gerakan kembali dan lestarikan upacara Pasaduan.