Mengenal Sosok Presiden Subuh Gabungan Sayyidil Walid Al Habib Ali Abdurahman Assegaf

Fokus Jakarta Sosial

Pewarta: Nur Azizah

JAKARTA. FOKUSPRIANGAN.ID – Jumat sore, 15 Januari 2021, tepatnya pukul 16:00 kabar duka menyelimuti tanah Betawi. Hal itu disebabkan oleh wafatnya seorang ulama Betawi yaitu Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pada usia 75 tahun. Orang-orang Betawi menyematkan panggilan untuknya yaitu Sayyidil Walid yang secara etimologi tuannya bapak. Kenapa demikian? Karena sifat kebapakannya yang menonjol darinya; mengayomi, mencerahkan, menasehati, dan memotivasi baik dalam berdakwah ataupun bertemu dengan orang lain.

Sayyid Ali lahir pada Ahad, 22 April 1945 bertepatan dengan 10 Jumadil Awwal 1364 Hijriah. Ia merupakan putra ke-2 dari pasangan Wali Quthb Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan HJ. Barkah binti Ahmad Fusani. Sedari kecil ia telah diperkenalkan oleh ayahnya kepada ulama-ulama solih. Pada tahun 1950-an, ia dibawa oleh ayahandanya ke Majelis Kwitang dengan menggunakan sepeda ontel. Ia dipakaikan oleh ayahandanya pakaian yang rapi. Baju koko putih, jas, dan dilengkapi dengan kopiah putih. Saat ia dan ayahnya sampai di Kwitang, ayahnya memintanya untuk cium tangan Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi. Kala itu ia disuruh cium bolak balik tangan sang Habib oleh Ayahnya. Kemudian Habib Ali mendoakannya dengan doa yang panjang. Sohibul Kwitang itu berkata pada sang Ayah, “Ya Abdurrahman, walad engkau sama namanya dengan saya, semoga apa yang Allah berikan pada saya, sama juga Allah berikan kepadanya.

” Sejak itulah ayahnya memberikan tarbiyah kepada Sayyid Ali dengan tarbiyah nabawiah, pendidikan yang telah Nabi Muhammad ajarkan kepada sahabat-sahabatnya.

Pendidikan yang diberikan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf kepada Sayyid Ali, mengikuti jejak para ulama salafuna salihin. Jelas, teliti, dan tegas, karakter pengajarannya. Hal tersebut diiringi dengan kesungguhannya (Sayyid Ali) untuk menggapai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh ayahandanya. Sehingga potensi mengajarnya mulai terlihat tatkala Ayahanandanya mengalami katarak, ia langsung ditunjuk untuk menggantikan beberapa kali mengajar di Madrasah Tsaqofah Islamiyah (Madrasah milik ayahandanya). Saat itu Sayyid Ali baru berusia 12 tahun.

Hausnya akan ilmu menjadi tekad dan semangat Sayyid Ali untuk belajar kepada para habaib, mualim, dan ulama lainnya. Guru-guru beliau di antaranya, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (sohibul Kwitang), Habib Ali bin Husein Alatas (sohibul Bungur), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Singa Podium), Habib Soleh bin Muksin Al-Hamid (sohibul Tanggul), Habib Abdullah Syami Alatas, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Haddad (Condet), Prof. Dr. KH Raden Abdullah bin Nuh (Bogor), dan Mualim Ahmad Junaidi (Menteng Atas). Selain itu ia pernah mukim selama empat puluh hari di Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki (Mekkah).

Sekitar tahun 1960-an, Sayyid Ali Assegaf muda melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Tatkala itu, ia kuliah di dua perguruan tinggi, yaitu IAIN (Institut Agama Islam Negeri) dan Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Bahkan, suatu ketika ia mengikuti ujian hadis di IAIN, ia berani mengkoreksi dan mengkritik soal ujian hadis yang ditulis oleh dosen tersebut di papan tulis. Sehingga dirinya dipanggil ke ruangan dosen untuk mendapatkan percepatan kelulusan di perguruan tinggi Islam itu.

Prestasi akademik dan non akademik Sayyid Ali berimbang. Ia pernah menjadi ketua GP Anshor Bukit Duri pada tahun 1965. Hal tersebut disebabkan kecerdasan diplomasi dan mengayomi warga Nahdiyin (ahlu sunnah wal jamaah). Bahkan beberapa kali Sayyid Ali menyuarakan keadilan bagi warga sipil yang belum mendapatkan haknya serta meminta negara untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada Tahun 1972, Sayyid Ali diminta Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi (anak dari Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi) untuk mengajar sekaligus menjadi kepala sekolah di Madrasah Islamic Center Kwitang. Madrasah tersebut merupakan embrio dari Madrasah Unwanul Falah. Sayyid Ali meminta beberapa pengajar Assagofah untuk mengajar di madrasah tersebut diantaranya Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf, Mualim Ro’i, dan KH. Zarkasyi.

Pada tahun 1976, Keilmuan Sayyid Ali muda diakui oleh gurunya Habib Ali bin Husein Alatas. Adapun Sohibul Ta’jul Arasy (Julukan Habib Ali bin Husein Alatas), menjulukinya dengan Allamah, orang yang memiliki banyak ilmu. Ilmu-ilmu tersebut antara lain ilmu tafsir al-Quran, hadis, fiqih, dan tasawuf. Saat itu pula ia mendapatkan ijazah kitab An-Nasoih Ad-diniyah oleh gurunya tersebut. Di sisi lain Sayyid Ali mendapatkan gelar Bahr al-Fahamah dari Prof. Dr. KH. Raden Abdullah bin Nuh pada tahun 1978.

Kemahiran bahasa Arab Sayyid Ali semankin meningkat. Kondisi tersebut diperoleh karena ia belajar bahasa Arab Modern dan Kontemporer dengan Habib Muhammad Asad bin Syihab pada tahun 1976. Bahasa Arab modern dan kontemporer yaitu bahasa-bahasa Arab yang hanya bisa ditemukan baik di media elektronik maupun media cetak, seperti televisi, radio, majalah, koran, dan buku kontemporer Arab. Sehingga kecakapan bahasa Arabnya setara dengan akademisi-akademisi Arab. Hal tersebut terlihat dari struktur kalimat dan gaya bahasa Arabnya yang diucapkan mengikuti aturan tata bahasa Arab meliputi ilmu sintaksis (nahwu), morfologi (sharf), ilmu retorika bahasa Arab (balagah).

Dunia pengajaran dan pembelajaran yang dijalani Sayyidil Walid mempunyai daya tarik tersendiri. Hal tersebut disebabkan tehnik pengajarannya yang khas yaitu ia tidak mau berpindah dari satu bab ke bab lain kecuali si murid telah menghafal dan memahami satu bab yang telah diajarkannya. Artinya, kesabaran antara guru dan murid diperlukan untuk keberhasilan dalam pembelajaran.

Sayyidil Walid pernah berbicara kepada muridnya, “Di zaman sekarang para pengajar agama di sekolah hanya mengejar target kurikulum tanpa memandang sejauh mana murid bisa mengerti dan memahami apa yang mereka pelajari. Sehingga banyak dari mereka sekedar pernah belajar tentang bab itu.”

Sayyidil Walid membina dan membimbing lebih dari dua puluh majelis taklim di JABODETABEK. Majelis utamanya yaitu di rumahnya sendiri yaitu Al-Afaf, Tebet Utara. Majelis tersebut telah berdiri kurang lebih dua puluh tujuh tahun lamanya. Majelis tersebut setiap sabtu dimulai setelah shalat Ashar berjamaah yang diimami oleh Sayyidil Walid sendiri. Kemudian membaca wirdhu latif sebagai zikir sore yang disusun oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Lalu beliau membaca dan menerangkan kitab-kitab kuning yang berkenaan dengan tauhid, fiqih, dan tasawuf.

Di samping itu, tokoh Betawi yang disegani semua kalangan tersebut juga membuka majelis khusus para ustad di kediamannya pada hari Rabu pagi. Dua kitab yang diajarkannya yaitu Ithafussadah al-Muttaqien syarah Ihya Ulumuddin dan Fathul Bari syarah Sohih Bukhari. Karena prinsipnya, seorang guru bukan hanya mengajar saja akan tetapi harus tetap belajar. Prinsipnya tersebut bersesuaian dengan long life education, pendidikan sepanjang hidup.

Praktik long life education itu sendiri dijalani sampai masa senjanya. Di tahun 2010-2015, Sayyidil Walid berguru pada ulama Timur Tengah melalui jaringan online melalui Yahoo Messenger dengan Al-Faqih Habib Abdullah bin Soleh Ba’bud (Madinah, Saudi Arabia) dan Dr. Ismail Al-Mishri (Dosen Al-Azhar Cabang Tonto Mesir). Bahkan, Dr. Ismail al-Mishri datang ke Jakarta mengunjungi Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pada tahun 2016.

Ada kisah yang menarik tatkala Dr. Ismail al-Mishri mengunjungi Sayyidil Walid di Jakarta. Saat perjalanan Saya (Dr. Ismail al-Mishri) menuju Jakarta saya tidur sejenak dalam pesawat maka aku melihat dalam mimpi Assyekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rowi semoga Allah merahmatinya, saat itu beliau sedang menafsirkan untukku sebuah ayat dalam Al-Qur’an dan di sampingnya ada Al-walid Al-Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. As-syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rowi merupakan sosok yang masyhur di negara kami.

Kala Assyekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rowi sedang menafsirkan sebuah ayat Al-Qur’an, aku (Dr. Ismail al-Mishri) mencium tangannya dan dia bilang “ini adalah salah satu wali dari wali-wali Allah” (sambil menunjuk ke arah walid yang ada di sampingnya) dan kemudian akupun mencium tangannya (yaitu tangan Al-walid Alhabib Ali bin Abdurrahman Assegaf). Mimpi ini aku dapati dalam perjalananku menuju Jakarta.

Lalu Alwalid Alhabib menunjuk ke Assyekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rowi sambil berkata “ini adalah salah satu wali dari wali-wali Allah yang Solihin”. Aku terbangun saat itu dari tidurku dan aku berdzikir “Subhanallah” betapa senangnya diriku. Sesampainya aku di Jakarta aku ceritakan kepada Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf.

Kira-kira setelah 3 hari kedatanganku aku naik ke kamar atas untuk istirahat setelah muroja’ah dengan Al-Walid aku tidur, maka aku kembali bermimpi kembali ke Mesir.

Keilmuan Sayyidil Walid diakui oleh ulama Indonesia dan Timur Tengah, sebab itulah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ingin sekali mempersembahkan gelar Doktor Honouris Causa kepadanya di tahun 2016. Akan tetapi beliau menolaknya.

Alm. KH. Syaifuddin Amsir sangat menganggumi Sayyidil Walid. Sehingga beliau menuturkan kepada Habib Ahmad bin Ali Assegaf (anak dari Sayyidil Walid), “Walidak (ayahmu) itu Allamah, karena beliau mengajar Kitab Fathul Bari ٍ Syarah Kitab Sohih Bukhari. Dimana jarang para guru yang mengajarkan kitab tersebut.”

Panutan Betawi tersebut juga membuka Majelis Nahwu dan Shorof setiap Senin dan Jumat selepas shalat Maghrib di rumahnya. Beliau mendatangkan pengajar Timur Tengah, diantaranya Syekh Busyiri Abdul Mu’thi (Mesir), Syekh Mahdi Al-Misri (Mesir), dan Syekh Muhammad Al-Busyiri Al-Yamani (Yaman) untuk mengajarkan dasar-dasar bahasa Arab tersebut kepada remaja-remaja, pemuda-pemuda, hingga orang tua. Akan tetapi pada tahun 2010 akhir, beliau sendiri yang memutuskan untuk mengajarnya di majelis tersebut. Beliau sempat menuturkan bahwa Bahasa Arab merupakan modal yang harus dimiliki seorang yang ingin menjadi da’i dan guru agama.

Berdakwah dari satu wilayah ke wilayah lainnya merupakan jalan yang juga ditempuh Sayyidil Walid sebagai tongkat estafet dari dakwah para salafuna salihin. Dakwahnya yang lembut dan santun terinspirasi oleh QS An-Nahl [16]:125:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Perjalanan dakwahnya diiringi sikap jabar khatir. Apa itu jabar khatir? Sikap dimana mau menyenangkan dan menggembirakan orang lain. Sehingga, dimana tempat yang mengundang beliau pasti ia datangi tanpa memilah dan memilih antara si kaya dan si miskin. Apalagi jika muridnya yang mengundang maka ia mendahulukan dari undangan-undangan lainnya. Oleh karena itu ia juga dijuluki da’i ilawlah, karena mengajak ke jalan Allah dengan cara-cara Nabi Muhammad.

Kisah dakwah Sayyidil Walid menjadi inspirasi bagi da’i-da’i muda. Pasalnya, beliau lakukan tanpa keluh kesah dan tanpa pamrih. Mulai dari berjalan kaki dari Menteng ke tempat berdakwahnya, naik motor vespa, hingga masuk ke pelosok-pelosok daerah-daerah seperti Banten dan sekitarnya. Pernah pula beliau berkata kepada salah seorang muridnya, “Dulu walidi (Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf) dalam berdakwah tidak pernah melontarkan kata kamu kepada jamaah yang hadir. Kemudian kenapa dakwah walidi mudah diterima oleh masyarakat pada umumnya? Karena apa yang walidi katakan sudah lebih dahulu beliau kerjakan.”

Dakwah Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dijalani lintas status dan kalangan. Kata-kata yang beliau gunakan dalam berdakwah tidak lepas dari apa-apa yang diperlukan audiens yang hadir. Isi dakwahnya yang disampaikan sarat akan ilmu dan mengena di hati. Tapi tak jarang juga penyampaiannya dibumbui oleh guyonan. Sampai-sampai ada preman yang insyaf karena ceramahnya.

Jasa Sayyidil walid begitu besar dalam memperkenalkan da’i-da’i muda ke ranah publik. Sebab para pendakwah muda yang akan meneruskan para pendahulu mereka dalam menyiarkan agama Islam. Seperti contoh, Habib Hud bin Bagir Alatas, sepeninggal ayahandanya (Habib Bagir Alatas), beliau diajak berdakwah Sayyidil Walid sekaligus diperkenalkan ke murid-murid Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdulqadir Assegaf. Habib Ahmad Fahmi bin Abubakar Alaydrus dikenal oleh masyarakat luas juga melalui wasilah Sayyidil Walid. Bahkan Habib Fahmi sempat menginap di rumah Sayyidil Walid untuk bertabaruk, mengambil berkah dan sanad darinya.
Da’i lain yang diperkenalkan Sayyidil Walid ke masyarakat yaitu Habib Umar bin Ahmad al-Hamid. Bahkan Sayyidil Walid pernah memberikan kepercayaan kepadanya (Habib Umar) untuk menggantikannya mengajar di beberapa majelis taklim yang beliau (Sayyidil Walid) bina. Selain itu, Dr. Ahmad bin Abdullah Alkaff juga merintis jalan dakwahnya dengan ikut kepada Sayyidil Walid.

Maulid Nabi, salah satu syiar dakwah yang sangat penting di mata Sayyidil Walid. Sebab acara tersebut mengekspresikan kegembiraan dan kebahagiaan dengan lahirnya Nabi Muhammad SAW. Sayyidil Walid menyelenggarakan acara maulid pertama kali di Jalan Surabaya, Menteng pada tahun 1975. Kala itu Maulid diselenggarakan hari Ahad minggu terakhir pada pukul 11 siang. Hal tersebut disebabkan menghormati Majelis Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang. Sehingga para jamaah yang hadir kebanyakan setelah mengikuti pengajian di Majelis Kwitang.

Namun, pada tahun 1993, Sayyidil Walid melaksanakan acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Tebet Utara. Saat itu acara diselenggarakan pada hari Jumat minggu keempat pada waktu Subuh. Acara itu bertepatan dengan peresmian rumah baru dan majelis taklimnya. Perayaan hari lahir Rasul yang Sayyidil Walid selenggarakan itu sarat makna. Sebab Sayidil Walid mengadakannya tetap menjaga hubungan baik dengan Majelis Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi. Majelis Kwitang mengadakan acara Maulid Nabi pada Kamis petang pada Minggu terakhir sedangkan Sayyidil Walid rutin mengadakan acara tersebut pada Jumat Subuh di minggu terakhir pula pada bulan Rabiul Awal.

Presiden Subuh, julukan lain dari Habib Ali. Sebab ia pencetus dan pelopor dari gerakan shalat subuh berjamaah di Jakarta. Sebagaimana Rasul bersabda, “Barangsiapa yang shalat subuh secara berjamaah maka seolah-olah ia shalat semalam suntuk”. Rasul juga bersabda, “Seorang muslim yang shalat subuh berjamaah di masjid, setelah itu ia berzikir kepada Allah sampai datang waktu israq, maka sesungguhnya ia mendapatkan pahala haji dan umroh yang sempurna.”

Gerakan Shalat Subuh Berjamaah pertama kali diresmikan Habib Ali dan BJ. Habibie pada tahun 1998 di Masjid Istiqlal, Jakarta. Pada masa itu merupakan masa transisi pemerintahan BJ. Habibie di Indonesia. Kala itu shalat subuh berjamaah diikuti oleh Presiden BJ Habibie, para pejabat lainnya serta berbagai elemen masyarakat. Selepas acara tersebut, masing-masing kecamatan di DKI Jakarta membentuk koordinator sholat subuh gabungan.

Perlu diketahui pula, rutinitas tahunan Habib Ali yaitu mengajak jamaah dan para pecintanya untuk melakukan ziarah qubro ke maqam wali-wali Allah di Jabodetabek. Maqam-maqam tersebut diantaranya Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Husein bin Abubakar Alaydrus (Luar Batang), Habib Muhammad bin Umar al-Qudsi, Habib Ali bin Abdurrahman Ba’alawi, Habib Abdurrahman bin Alwi As-Syatiri (Kampung Bandan), Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad (Tanjung Priok), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas, Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Al-Haddad (Empang Bogor), Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf (Lalongok). Beliau melakukan bersama mereka biasanya di bulan Sya’ban. Rutinitas tersebut dilakukan dalam rangka menyambung silaturahmi dengan wali-wali Allah dan bertawasul memohon keselamatan selama menjalani puasa dan ibadah di bulan Ramadhan.

Kini Sang Presiden Subuh, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf telah berpulang ke Rahmatullah. Kepergiaannya ditangisi oleh murid-muridnya, jamaahnya, dan para pecintanya. Namun sebelum kepergiannya, beliau meninggalkan pesan-pesan yang amat berharga untuk umat Islam di Indonesia. “Suatu saat saya tidak ada, saudara….. saya wasiatkan jangan tinggalkan majelis taklim, saudara akan kembali kepada Allah. Saya lebih dahulu atau saudara yang lebih dahulu, yang pasti kita akan kembali semuanya, Innalillahi wa innailahi raji’un.”